JAKARTA — Media sosial diramaikan oleh cerita mengenai seorang ibu yang mengalami rahim copot setelah melahirkan dengan bantuan paraji atau dukun beranak. Menanggapi hal tersebut, dokter spesialis obstetri dan ginekologi, dr Prita Kusumaningsih, menegaskan bahwa istilah tersebut tidak dikenal dalam dunia medis.
“Istilah rahim copot memang tidak dikenal dalam dunia medis. Tapi mungkin istilah itu dipakai hanya untuk menjelaskan dengan bahasa awam yang mudah dimengerti,”
la menjelaskan rahim secara anatomi berada di dalam rongga panggul dan ditopang oleh sejumlah ligamen yang menjaga posisinya tetap stabil. Ligamen tersebut bekerja dari berbagai arah untuk memastikan rahim tidak bergeser, bahkan ketika menampung janin dengan berat tiga hingga empat kilogram. Karena itu menurutnya, tidak ada istilah medis yang menyebut rahim dapat “copot”.
“Memang ada istilah rahim turun, itu ada namanya prolaps uteri. Itu terjadi apabila ligamen penyangga mengalami kelemahan, sehingga rahim turun ke dalam vagina. Tapiprolaps uteritidak menyebabkan rahim keluar atau terlepas, melainkan hanya turun dari posisi normalnya,” kata dr Prita.
Dokter Prita menduga kasus yang viral tersebut justru mengarah pada kondisi yang jauh lebih berbahaya yaitu inversio uteri. Ini merupakan komplikasipersalinanyang serius dan jarang terjadi, di mana rahim (uterus) terbalik sebagian atau seluruhnya dan menonjol ke dalam vagina atau keluar dari tubuh.
la menjelaskaninversio uteri dapat terjadi salah satunya akibat upaya menarik tali pusar terlalu kuat sebelum plasenta terlepas. Kondisi rahim terbalik juga bisa terjadi saat pasien mengalamiplasenta akretayang tidak ditangani dengan tepat.
Plasenta akreta merupakan kondisi di mana jaringan plasenta menempel terlalu dalam dan kuat pada dinding rahim, sehingga tidak bisa terlepas secara normal setelah bayi lahir. Bila kemudian plasenta ditarik paksa, bagian dalam rahim dapat ikut tertarik keluar hingga membuat rahim terbalik.
“Inversio uteri itu termasuk kondisi gawat. Rahimnya terbalik dan bagian dalamnya keluar. Perdarahannya bisa sangat banyak, jadi perlu diwaspadai,” kata dr Prita.
Dia mengatakan dalam kasus penanganan yang benar-benar salah, jaringan penyangga rahim pun bisa robek. Meski ia sendiri belum pernah menemukan kasus jaringan penyangga sampai benar-benar putus, ia menegaskan bahwa inversio uteri pernah ia jumpai sendiri dan merupakan keadaan darurat yang sangat serius.
Menurutnya, kondisi seperti ini rentan terjadi bila persalinan ditangani paraji yang tidak memiliki pengetahuan dan teknik medis yang tepat. “Dan di daerah itu, apalagi dulu pas saya masih sekolah kedokteran, banyak laporan paraji yang menarik bayi atau tali pusat terlalu kuat, bahkan mendorong perut ibu menggunakan kaki atau menahan tubuh pada tembok untuk menambah tenaga. Tindakan-tindakan itu dapat menyebabkan inversio uteri tadi,” kata dia.
Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat tidak melakukan proses persalinan pada paraji atau dukun beranak. Bila masyarakat tidak mampu atau sulit mengakses dokter kandungan, ia mengimbau agar persalinan setidaknya ditangani oleh bidan terlatih untuk mencegah risiko fatal bagi ibu dan bayi.
“Pemerintah saya kira dari dulu sudah bikin anjuran jangan melahirkan di paraji atau dukun beranak, tapi memang tidak mudah mengubah kebiasaan di masyarakat. Tapi sekarang kan ada bidan di desa ya, masyarakat saya kira bisa memanfaatkan itu,” kata dia.
la pun mendorong pemerintah untuk terus membuka akses kesehatan yang memadai untuk desa-desa terpencil dan terluar di Indonesia. “Jangan sampai ada lagi peristiwa ibu yang akan melahirkan harus ditandu atau naik perahu belasan jam untuk mencapai RS terdekat,” ujarnya.
sumber : https://ameera.republika.co.id/
21 total views, 21 views today
Recent Comments