bukber shanghai22

Setiap masjid di berbagai belahan dunia punya cara tersendiri dalam menyambut Ramadhan. Tak terkecuali masjid-masjid di Shanghai, Republik Rakyat Tiongkok. Awal bulan Juni 2017, bertepatan dengan shaum Ramadhan, saya dan Suami sedang berada di Shanghai mengikuti beberapa acara kedokteran.

Di sela-sela waktu kosong sore hari, kami manfaatkan untuk berjaulah ke sejumlah masjid di Shanghai. Bersilaturahim dan sekaligus menjalani ifthar jamai’ (buka puasa bersama) dengan warga Muslim Shanghai. Masjid pertama yang kami kunjungi adalah Masjid Pu Dong. Masjid ini didirikan pada tahun 1935. Luas masjid ini sekitar 1650 meter persegi dan mampu menampung sekitar 500 jamaah.

Masjid ini terletak persis di tepi jalan besar Yuan Sheng Road, Shanghai. Di sinilah warga Muslim Shanghai sehari-hari menjalani aktivitas ibadahnya. Kami datang sore hari, beberapa saat jelang berbuka puasa. Warga Muslim Shanghai, khususnya yang berada di sekitar masjid, terlihat telah memenuhi Masjid Pu Dong.

Waktu Maghrib, pukul 18.55, tiba. Jamaah pria dan wanita berada dalam satu ruangan makan lengkap dengan meja kursi mirip kantin. Takjil dibagikan berupa seiris semangka, seiris melon, kurma, teh tawar dan roti manis. Seusai makan takjil dilanjutkan dengan Shalat Maghrib berjamaah. Wanita menempati ruang atas yang mirip kamar. Ada sebuah televisi yang tersambung ke tempat shalat laki-laki untuk mengikuti imam.

Shalat Maghrib usai ditunaikan. Jamaah turun kembali ke ruang makan yang sudah dibereskan dan diganti dengan menu makan malam. Ruangan cukup sesak dipadati jamaah. Kami bertegur sapa dengan para jamaah. Mereka cukup ramah seperti halnya Muslim di Indonesia. Makan malam disediakan dalam sebuah nampan stainless yang berisi nasi, tumisan mentimun, ayam dan kentang. Dimasak mentega dan kecap serta semangkuk kuah. Menu tersebut dimakan dengan sumpit. Sedangkan kuah yang semangkuk diseruput saja.

Kegiatan dilanjutkan dengan kultum sambil menunggu datangnya waktu Shalat Isya. Jamaah menjalani Shalat Isya dan disambung dengan Shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Seperti halnya di Indonesia pada umumnya, Shalat Tarawih berlangsung dengan cepat.

Keesokan harinya kami berbuka di Masjid Huxi. Masjid yang terletak di Chang De Road, Putuo District ini terselip diantara bangunan apartemen yang menjulang. Namun mudah ditenggarai karena adanya menara dan kubah berwarna emas. Mempunyai dua pintu masuk dari depan dan dari samping.

Masjid Huxi adalah masjid pindahan. Yang pertama dibangun pada 1922 di daerah Xikang Road. Saat revolusi kebudayaan masjid ditutup dan dibuka lagi pada 1979. Sedangkan masjid yang sekarang selesai dibangun tahun 1992.

Karena memiliki daya tampung lebih besar, jamaah yang berbuka puasa di masjid ini lebih banyak. Panitia menyediakan tak kurang dari 300 porsi makanan takjil dan makan malam. Porsinya cukiup besar menurut ukuran Indonesia. Menu takjilnya pun berbeda-beda setiap harinya. Di masjid ini dipisahkan antara jamaah wanita dan pria. Jamaah pria menempati ruangan di sebelah ruang shalat utama, sedangkan jamaah wanita menempati beranda depan atau terkadang di lantai 2.

Ketika Shalat Maghrib selesai ditunaikan, jamaah terlihat langsung menyerbu makan malam. Menu kali ini adalah sop daging sapi dan dua potong roti mantau. Seperti di Masjid Pu Dong, tidak ada sendok atau garpu, tapi ada sumpit. Uniknya lagi, tidak disediakan minuman, termasuk air putih. Minuman hanya ada saat takjil berupa teh tawar. Usai menu habis dimakan, sisa kuah sop diminum langsung dari mangkuknya, sekaligus berfungsi sebagai air minum.

Masjid ketiga yang kami kunjungi adalah Masjid Fu You Road. Masjid ini lebih tersamar lagi, katena berada dikawasan pertokoan di kota Yu Yuan. Jadi pintunya langsung berada di tepi jalan dan baru ada halaman kecil saat kita masuk ke dalamnya.

Masjid ini terbilang telah berumur. Pertama kali dibangun pada masa Dinasti Qing di tahun 1644-1911. Tak jauh dari masjid di dalam kota tua terdapat pertamanan yang indah (Yu Garden) dari dinasti yang sama. Kami menandai posisi masjid dari adanya beberapa orang berpeci putih yang sedang mengobrol di trotoar depan masjid. Arsitektur di dalamnya didominasi kayu yang dalam literatur dikatakan bergaya Istana Tiongkok.

Ruang makan pria dan wanita menjadi satu. Hanya terpisah kelompok mejanya saja. Saat saya bergabung dengan ramah para ibu tersebut mempersilakan duduk. Sayangnya komunikasi lewat bahasa isyarat dan bahasa tubuh saja karena tidak ada yang bisa bicara bahasa inggris meskipun sedikit. Seperti biasa, mereka mengira kami dari Malaysia.

Waktu Maghrib tiba. Ditandai dengan doa oleh imam masjid. Makanan takjil yang sudah siap dimeja langsung diserbu. Menu di masjid ini lebih mewah dari masjid yang saya kunjungi kemarin karena setiap orang mendapatkan 1 paket buah iris. Jenis buahnya pun beragam, antara lain anggur hijau, anggur merah, ceri merah, ceri hitam, masing-masing sebutir. Ditambah dengan seiris kiwi dan buah persik. Jamaah menyantap makanan dengan cepat. Menyeruput kuah sampai habis dan segera membereskan meja, sedangkan saya masih berkutat dengan sumpit dan makanan. Disudut lain, Suami saya, Dr. Basuki Supartono, SpOT, tampak asyik mengobrol dengan warga lokal dan seorang Muslim Pakistan yang bisa berbahasa Arab. Terlihat komunikasi keduanya berjalan lebih lancar.

Sungguh, berbuka puasa Ramadhan di negeri manapun suatu kenikmatan tersendiri. Terlebih lagi bila ifthar itu dilakukan berjamaah bersama saudara sesama Muslim.

Oleh dr Prita Kusumaningsih SpOg – Artikel Jaulah Majalah OASESAHIRA Juli 2017

 160 total views,  1 views today